berdiri aku
disini
dan akan tetap
disini
menatap angin
mencari buih
kutelan api
kubentang tanah
berdiri
disini
meski dengan satu
kaki
( tekan ctrl + a)
Minggu, 31 Oktober 2010
Rabu, 06 Oktober 2010
Bebarapa hari yang lalu saya sempat bertemu dengan seseorang. Tak ada yang istimewa dari dia. Bahkan terlalu biasa. Setidaknya itu kesan pertama sebelum aku sempat berbincang, tepatnya mendengarkan ceritanya. Cerita tentang hidupnya.
Dari ribuan kalimat yang sempat saling bertukar, ada yang selalu saya ingat dan membuat saya ingin menulisnya disini.
"Tuhan menyayangi kita lebih dari diri kita sendiri. Hanya terkadang kita yang menghalangi kasih sayang Tuhan dengan apa yang disebut dengan ketamakan, tak pandai bersyukur..."
Bersyukur?
Saya selalu bersyukur. Bibir saya selalu mengucap 'Alhamdulillah'. Dan itu otomatis terucap karena terlalu seringnya.
"Tapi apa dalam kenyataannya kita benar-benar sudah bisa menerima apa yang sudah kita punya? Kita sering menggurutu... Dapat 10, kita akan berkata: coba kalo 20... Diberi 100, seandainya kita punya 1000...
Bahkan kita tidak benar-benar bisa menjaga apa yang sudah kita punya dengan menggunakannya secara sia-sia..."
Terlalu filosofis!
Manusiawi kan kalo kita meninginkan lebih?
Jaman sekarang apa yang tidak dihitung dengan materi?
Kapitalis?
Memang sekarang jamannya kan?
"Ikuti arus... tapi jangan terbawa arus...?"
Saya semakin tidak mengerti.
"Hidup itu tergantung dari mana kita memandangnya. Jika terasa berat, cobalah lihat dari sisi yang berbeda. 100 akan terasa banyak kalo kita menilainya banyak. Tapi juga tidak akan ada artinya jika kita menilainya sedikit.
Hargailah semua yang kamu dapat dengan tinggi. Bukan dari kwantitasnya. Tapi bagaimana cara kamu mendapatkannya. Setiap tetes keringat tidak ada yang sia-sia. Maka kamu akan menjadi orang yang pandai bersyukur dalam arti yang sesungguhnya. Bukan hanya orang yang fasih mengucap 'Alhamdulillah' secara lisan saja...
Satu lagi, sahabatku, berbagilah dengan orang lain. Maka kamu akan menemukan kebahagiaan..."
Hidup itu tidak mudah, tapi juga tidak sesulit yang kita takutkan.
Jangan menyerah dan tetap semangat...
Dari ribuan kalimat yang sempat saling bertukar, ada yang selalu saya ingat dan membuat saya ingin menulisnya disini.
"Tuhan menyayangi kita lebih dari diri kita sendiri. Hanya terkadang kita yang menghalangi kasih sayang Tuhan dengan apa yang disebut dengan ketamakan, tak pandai bersyukur..."
Bersyukur?
Saya selalu bersyukur. Bibir saya selalu mengucap 'Alhamdulillah'. Dan itu otomatis terucap karena terlalu seringnya.
"Tapi apa dalam kenyataannya kita benar-benar sudah bisa menerima apa yang sudah kita punya? Kita sering menggurutu... Dapat 10, kita akan berkata: coba kalo 20... Diberi 100, seandainya kita punya 1000...
Bahkan kita tidak benar-benar bisa menjaga apa yang sudah kita punya dengan menggunakannya secara sia-sia..."
Terlalu filosofis!
Manusiawi kan kalo kita meninginkan lebih?
Jaman sekarang apa yang tidak dihitung dengan materi?
Kapitalis?
Memang sekarang jamannya kan?
"Ikuti arus... tapi jangan terbawa arus...?"
Saya semakin tidak mengerti.
"Hidup itu tergantung dari mana kita memandangnya. Jika terasa berat, cobalah lihat dari sisi yang berbeda. 100 akan terasa banyak kalo kita menilainya banyak. Tapi juga tidak akan ada artinya jika kita menilainya sedikit.
Hargailah semua yang kamu dapat dengan tinggi. Bukan dari kwantitasnya. Tapi bagaimana cara kamu mendapatkannya. Setiap tetes keringat tidak ada yang sia-sia. Maka kamu akan menjadi orang yang pandai bersyukur dalam arti yang sesungguhnya. Bukan hanya orang yang fasih mengucap 'Alhamdulillah' secara lisan saja...
Satu lagi, sahabatku, berbagilah dengan orang lain. Maka kamu akan menemukan kebahagiaan..."
Hidup itu tidak mudah, tapi juga tidak sesulit yang kita takutkan.
Jangan menyerah dan tetap semangat...
Sabtu, 16 Januari 2010
Filosofi Semar

Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya
Bebadra = Membangun sarana dari dasar
Naya = Nayaka = Utusan mangrasul
Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia
Filosofi, Biologis Semar
Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : “Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik”.
Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar “kuncung” (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.
Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar barjalan menghadap keatas maknanya : “dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat”.
Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri sosok semar adalah :
Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua
Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan
Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa.
Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual . Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .
Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya katanya ber bunyi :
Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning pati.
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma“, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.
Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon Semar Mbabar Jati Diri
Dalam Etika Jawa ( Sesuno, 1988 : 188 ) disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan adalah punakawan ” Abdi ” Pamomong ” yang paling dicintai. Apabila muncul di depan layar, ia disambut oleh gelombang simpati para penonton. Seakan-akan para penonton merasa berada dibawah pengayomannya.
Simpati para penonton itu ada hubungannya dengan mitologi Jawa atau Nusantara yang menganggap bahwa Semar merupakan tokoh yang berasal dari Jawa atau Nusantara ( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 ). Ia merupakan dewa asli Jawa yang paling berkuasa ( Brandon dalam Suseno, 1988 : 188 ). Meskipun berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar adalah seorang dewa yang mengatasi semua dewa. Ia adalah dewa yang ngejawantah ” menjelma ” ( menjadi manusia ) yang kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatria utama lainnya yang tidak terkalahkan.
Oleh karena para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja Jawa ( Poedjowijatno, 1975 : 49 ) Semar diyakini sebagai pamong dan danyang pulau Jawa dan seluruh dunia ( Geertz 1969 : 264 ). Ia merupakan pribadi yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sikap lahir dan keterdidikannya ( Suseno 1988 : 190 ). Ia merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe ” sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bawana ” menjaga kedamaian dunia ( Mulyono, 1978 : 119 dan Suseno 1988 : 193 )
Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono 1978 : 18 ) yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 – Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto ( 1969 : 31 ) berpendapat dan menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh dengan kalimat Allah.
Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan badranaya yang berarti ” pimpinan rahmani ” yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih ( timoer, tt : 13 ). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling ” rasa ingat ” ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang Maha Pencipta dan segala ciptaanNYA yang berupa alam semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma ( Mulyono 1978 : 35 )
Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan segala kelebihan dan sifat ilahiah pada pribadi Semar, maka timbul gagasan agar dalam pementasan wayang disuguhkan lakon ” Semar Mbabar Jati Diri “. gagasan itu muncul dari presiden Suharto dihadapan para dalang yang sedang mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta pada tanggal, 20-23 Januari 1995. Tujuanya agar para dalang ikut berperan serta menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya, termasuk pembudayaan P4 ( Cermomanggolo 1995 : 5 ). Gagasan itu disambut para dalang dengan menggelar lakon tersebut. Para dalang yang pernah mementaskan lakon itu antara lain : Gitopurbacarita, Panut Darmaka, Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan manteb Soedarsono ( Cermomanggolo 1995 : 5 – Arum 1995 : 10 ). Dikemukan oleh Arum ( 1995:10 ) bahwa dalam pementasan wayang kulit dengan lakon ” Semar Mbabar Jadi Diri ” diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh sangkan paraning dumadi ” ilmu asal dan tujuan hidup, yang digali dari falsafat aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi yang bersumber filsafat aksara Jawa itu sejalan dengan pemikiran Soenarto Timoer ( 1994:4 ) bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah keselamatan hidup. Sumber daya itu dapat disimbolkan dengan Semar yang berpengawak sastra dentawyanjana. Bahkan jika mengacu pendapat Warsito ( dalam Ciptoprawiro 1991:46 ) bahwa aksara Jawa itu diciptakan Semar, maka tepatlah apabila pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut bersumberkan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka.
Jumat, 15 Januari 2010
SULUK SUKMA LELANA

Dening : R. Ng. Ranggawarsita
Punapa yen wus hakekat,
estu lajeng sarengatnya kawuri,
yen saking pamanggih ulun,
tan wonten kang tinilar,
jer muktamat ing hadis ugi kasebut,
kak tanpa sarengat batal,
sarak tanpa kak tan dadi.
Paran Gusti yen kapisah,
temah mangke kakalihira sisip,
kang lempeng taksih ing kawruh,
sakawanira tunggal,
ngelmuning Hyang sarengat myang tarekatu,
kakekat miwah makripat,
punika kamil apdoli.
Suluk Suksma Lelana
Apakah jika seseorang sudah sampai ke tingkatan hakikat, dia boleh meninggalkan syariat? Menurut pendapatku dan pendapat Hadis tak boleh ada ajaran syariat yang diabaikan, karena kebenaran atau haq tanpa syariat tak jadi dan syariat tanpa haq batal juga.
Perjalalanan menuju Tuhan tak boleh hanya dengan pendekatan secara partial, mereka harus melakukan empat hal itu sebagai satu kesatuan, yaitu : syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat, inilah suatu hal yang sempurna.
Jaman Kalabendu
Sitipati, nareprabu utamestu, papatih nindhita, pra nayaka tyas basuki, panekare becik-becik cakrak cakrak.
Nging tan dadya, paliyasing Kalabendu, mandar sangking dadra, rubeda angrubedi, beda-beda hardaning wong sanagara.
Artinya : Para pemimpin mengatakan se-olah-olah bahwa semua berjalan dengan baik padahal hanya sekedar menutupi keadaan yang jelek.
Yang menjadi pertanda zaman Kalabendu, makin lama makin menjadi kesulitan yang sangat, dan ber-beda-beda tingkah laku / pendapat orang se-negara.
Nging tan dadya, paliyasing Kalabendu, mandar sangking dadra, rubeda angrubedi, beda-beda hardaning wong sanagara.
Artinya : Para pemimpin mengatakan se-olah-olah bahwa semua berjalan dengan baik padahal hanya sekedar menutupi keadaan yang jelek.
Yang menjadi pertanda zaman Kalabendu, makin lama makin menjadi kesulitan yang sangat, dan ber-beda-beda tingkah laku / pendapat orang se-negara.
hakekat titik
Apabila,
Ma’rifat adalah penyaksian akan Allah,
Hakekat adalah ikhlas,
syukur dan sabar sebelum penyaksian Allah,
Tarekat adalah jalan pengosongan sebelum hakekat,
Syari’at adalah dalil kehidupan dalam menghormati eksistensi-eksistensi lain.
Maka,
Syari’at adalah bagaimana mewujudkan penyaksian akan Allah,
Tarekat adalah bagaimana dalam kehidupan senantiasa mengingatnya,
Hakekat adalah bagaimana ikhlas,
syukur dan sabar dalam kehidupan,
Ma’rifat adalah implementasi kehidupan dalam penyaksian dan menyaksikan-Nya.
Apabila,
Syari’at adalah bagaimana mewujudkan penyaksian akan Allah,
Tarekat adalah bagaimana dalam kehidupan senantiasa mengingat-Nya,
Hakekat adalah bagaimana ikhlas,
syukur dan sabar dalam kehidupan,
Ma’rifat adalah implementasi kehidupan dalam penyaksian dan menyaksikan-Nya.
Maka,
Ma’rifat adalah penyaksian akan Allah,
Hakekat adalah ikhlas,
syukur dan sabar sebelum penyaksian Allah,
Tarekat adalah jalan pengosongan sebelum hakekat,
Syari’at adalah dalil kehidupan dalam menghormati eksistensi-eksistensi lain.
Apabila dan Maka,
Bersatu dalam Titik,
Titik itu adalah Allah,
Syari’at-Tarekat berawal dari Titik,
Hakekat-Ma’rifat berakhir di Titik.
Billahu,
Fillahu,
Bi Idznillahu,
Minallahu,
Allahu,
Titik.
Ma’rifat adalah penyaksian akan Allah,
Hakekat adalah ikhlas,
syukur dan sabar sebelum penyaksian Allah,
Tarekat adalah jalan pengosongan sebelum hakekat,
Syari’at adalah dalil kehidupan dalam menghormati eksistensi-eksistensi lain.
Maka,
Syari’at adalah bagaimana mewujudkan penyaksian akan Allah,
Tarekat adalah bagaimana dalam kehidupan senantiasa mengingatnya,
Hakekat adalah bagaimana ikhlas,
syukur dan sabar dalam kehidupan,
Ma’rifat adalah implementasi kehidupan dalam penyaksian dan menyaksikan-Nya.
Apabila,
Syari’at adalah bagaimana mewujudkan penyaksian akan Allah,
Tarekat adalah bagaimana dalam kehidupan senantiasa mengingat-Nya,
Hakekat adalah bagaimana ikhlas,
syukur dan sabar dalam kehidupan,
Ma’rifat adalah implementasi kehidupan dalam penyaksian dan menyaksikan-Nya.
Maka,
Ma’rifat adalah penyaksian akan Allah,
Hakekat adalah ikhlas,
syukur dan sabar sebelum penyaksian Allah,
Tarekat adalah jalan pengosongan sebelum hakekat,
Syari’at adalah dalil kehidupan dalam menghormati eksistensi-eksistensi lain.
Apabila dan Maka,
Bersatu dalam Titik,
Titik itu adalah Allah,
Syari’at-Tarekat berawal dari Titik,
Hakekat-Ma’rifat berakhir di Titik.
Billahu,
Fillahu,
Bi Idznillahu,
Minallahu,
Allahu,
Titik.
Langganan:
Postingan (Atom)